Selasa, 28 Februari 2012

Aku Ingin Bercerita

Malam ini aku kembali terbangun tiba-tiba dari tidurku. Jam wekerku telah menunjukkkan pukul 03.00 WIB. Akh, rasanya tubuh ini terlalu lemah dan tidak ingin beranjak dari posisinya yang sekarang. Aku membalik tubuhku berubah ke posisi terlentang. Kuterawang langit-langit kamarku yang hanya berukuran 4m x 2,5m. Entah kenapa rasa sesak itu kembali datang merasuki dadaku, kutarik nafas dalam-dalam dan aku pun memutuskan beranjak dari tidurku untuk menyapa-Nya kembali.

“ Malam ini aku ingin mengajukan permohonan pada-Mu
Tegarkanlah dan lindungilah aku dari kepatahan asa
Saat angin kengkuhan meniupku
Saat gergaji kesombongan memcoba mematahkanku
Tetapkanlah aku di jalan-Mu
Walau musim menguras sumber kehidupanku
Yang memotong akar kehidupanku
Dan.....
Biarkanlah bibit Iman dan Taqwaku tumbuh
Agar aku tetap merasakan
Getar-getar cinta dan kasih-Mu
Aku hanya meminta, tidak memaksa
Syukurku untuk semua itu
Syukurku hanya pada-Mu, Rabb.”

            Aku mengusap mataku untuk menghapus air mata yang ada padanya. Malam ini adalah malam kesekiankalinya aku menangis. Beban-beban kehidupan itu terlalu berat rasanya menimpaku dari hari ke hari. Selalu aku mencoba untuk tegar, tetapi, itu tak pernah berhasil kulakukan saat aku berada pada posisi di atas sajadah ini, dalam kurun waktu seperti sekarang ini.

v   

Pagiku kembali lagi seperti biasa. Dalam hati ada rasa syukur dan bahagia karena masih dapat rasakan suasa pagi.
“sayang, sudah bisa berangkat kuliah, nanti kamu terlambat lho!” sebuah suara lembut mengingatkanku. Namu, rasanya peringatan dari suara itu belum bisa membuatku beranjak dari posisi jendela kamar tempat di mana aku berdiri dari tadi. Pemandangan di luar jendela sana selalu saja membuatku tertegun. Ada dia, Fitra, sahabat sekaligus tetanggaku di sana, yang sedang bersiap-siap naik ke mobil untuk berangkat ke kampus. Seperti biasa, sahabatku yang manis itu selalu diantar oleh ayahnya ke kampus. Ada canda-canda kecil yang selalu mengiringi kegiatan Fitra dan ayahnya kini. Dan itu yang selalu membuatku tertegun melihatnya dari jendela seperti saat ini. Ya...aku tertegun dengan keadaan yang sama sekali tidak pernah kurasakan ada dalam kehidupanku.
“Sayang, ayo, apalagi, ini sudah jam setengah delapan, nanti kamu betul-betul bisa terlambat,” lagi-lagi suara wanita separuh baya itu mengingatkanku.
“Oh, iya, Bu, aku segera berangkat.”
Kuambil tas ku dan kucium tangan mulian ibuku, lalu aku pun pergi ke kampus demi suatu niat mulia dalam hatiku.

v   

Hari ini aku kembali mengawali kegitanku dengan menumpangi angkot kota. Perkenalkan, inilah aku, namaku Putri Amelia, biasanya sering dipanggil Lia oleh orang-orang sekitarku. Aku adalah salah satu anak tunggal yang berpeluang menjadi salah satu dokter masa depan, InsyaAllah. Banyak sudah cita-cita perwujudan yang ingin kucapai seiring dengan kuperolehnya titel dokter itu nanti. Semuanya demi Zat yang telah menciptakanku, demi rahim seorang wanita yang telah melahirkanku dan demi semua orang yang mencintaiku dan aku cintai. Begitu mulia bukan niatku? Ya, kurasa cukup mulia untuk sebuah cita-cita lumrah bagi seorang anak manusia.
Adanya aku di sini dengan semua mimpi-mimpiku. Aku tau, begitu banyak keterbatasan diri yang membuat jalanku untuk mencapai harapan itu menjadi tidak mudah. Namun, inilah hidup, dengan segala keterbatasan itulah aku bisa lebih menghargai apa yang telah kudapat sekarang, walaupun hanya kasih sayang seorang ibu. Ya...mungkin saat ini, hanya itu kekuatan terbesar yang aku miliki, hanya cinta seorang ibu.

Hanya satu pintaku
‘Tuk memandang langit biru
Dalam dekap seorang ibu
Hanya satu pintaku
‘Tuk tersenyum dan tertawa
Di pangkuan seorang ayah
Apabila ini hanya sebuah mimpi
Ku selalu berharap
Dan tak pernah berakhir
Hanya satu pintaku
‘Tuk memandang langit biru
Di pangkuan ayah dan ibu
(Mocca)

Terngiang kembali alunan lagu yang selalu mengiringi langkah hatiku. Lagu itu adalah lagu yang selalu bisa menyadarkan aku bahwa dari tiap optimis diri yang ktanam dalam-dalam di hatiku ternyata juga masih bisa menyisakan mimpi-mimpi yang tidak akan pernah kucapai, yaitu seperti yang ada dalam lirik-lirik lagi tersebut.
Pagi ini mungkin fitra dapat mengawali harinya dengan candaan bersama sang ayah. Itu selalu membiatku tertegun dan merasa ingin mersakannya. Tetapi, seperti yang kukatakan tadi, ternyata itu memang benar-benar menjadi sebuah mimpi belaka bagiku.
Orang-orang terdekatku mengatakan bahwa ayahku adalah laki-laki hebat dan penuh disiplin. Seorang hamba yang bertaqwa pada Tuhannya. Seorang dosen yang disegani oleh mahasiswanya. Seorang suami yang mencintai istrinya. Dan pastinya beliau adalah seorang ayah yang menyayangi anaknya, yaitu aku. Aku selalu percaya dengan semua kata-kata yang terucap itu. Ayahku adalah laki-laki yang hebat. Itu adalah keyakinan yang selalu kucamkan dalam hatiku tentang sosok yang sebenarnya tidak pernah kukenal lebih jauh keberadaanya.




Pagi ini mungkin Fitra sempat bertutur kata, merasakan keberadaan sang ayah dengan sangat nyata.Tetapi, aku, 20 tahun keberadaanku, aku sama sekali tidak pernah mengerti bagaimana haluan suara yang keluar dari mulut ayahku. Keberadaanya menjadi semua bagiku. Aku hanya punya cinta yang mengalir dalam darah dan dagingnya yang kini menyatu padaku. Hanya itu. Tetapi, inilah aku, dengan segala keadaan iniaku merasa tidak boleh menyerah begitu saja. Meskipun itu hanya sebuah mimpi, aku ingin mimpiku menjadi  begitu istimewa.
“Dek, turun di daerah kampus kan? Udah nyampe ni!” suara kondektur angkot membuatku tersadar dari lamunan.
“Oh, iya, Bang, Makasih,” aku memberikan ongkos angkot kepada sang kondektur  lalu beranjak turun dan melangkah menuju kampusku. Hari ini ada praktikum, jadinya aku harus sedikit bergegas cepat menuju ruang praktikum.
Tiga jam praktikum akhirnya usai juga. Akh, begitu melelahkan. Kali ini aku sedang melipat baju praktikumku. Sesaat tatapanku mengarah ke sekelompok mahasiswa yang berada di pojokan yang tidak begitu jauh di sebelah kiriku. Kudengar canda di antara mereka. Ingin rasanya aku bergabung di dalamnya. Tetapi, aku tidak punya nyali untuk melangkah ke sana setelah adanya pertengkaran kecil antara aku dan mereka beberapa waktu yang lalu. Hanya sebuah masalah kecil karena kesalahpahaman saja. Kupikir nanti juga akan ada jalan keluar untuk menyelesaikannya. Namun, tidak sekarang, aku masih terlalu lelah.
Akhirnya aku memasukknya baju praktikumku ke dalam tas dan kemudian ke ambil handphoneku yang sejak tadi tergeletak di tas, belum tersentuh, lalu aku beranjak pulang. Perjalanan pulangku kali ini disibukkan oleh tombol-tombol handphone yang sejak tadi kutekan, bukan untuk sms atau pun bertujuan untuk menelepon, aku hanya ingin menekan beberapa digit nomor yang begiru rindu untuk kutuju. Beberapa waktu lalu, nomor itu adalah salah satu tujuan utamaku untuk mencurahkan segala unek-unek yang ada di hati saat aku sedang berada dalam kedaan kacau. Namun, kini aku tidak akan bisa menghubung nomor itu lagi. Hatiku telah mengambil keputusan untuk melupakan semua ceritaku dengan pemilik nomor itu. Aku ingin melupakannya untuk saat ini, bukan karena aku merasa benci dan bosan, tetapi, karena aku tidak ingin pemilik nomor itu larut lebih jauh dalam tiap cerita-cerita sedih hidupku, bahkan ketika aku berada dalam keadaan sangat terpuruk sekali pun, bahkan ketika aku merasakan kerinduan yang mendalam untuk menyapanya lagi. Akh, tiba-tiba saja dadaku terasa sesak hampa.


Semakin ku menyayangimu
Semakin ku harus
Melepasmu dari hidupku
Tak ingin lukai hatimu
Lebih dari ini
Kita tak mungkin trus bersama
(Drive-Melepasmu)

            Lalu kukembangkan senyum manis di bibirku dan melanjutkan langkahku lagi. Orang-orang sekitarku tidak boleh tau tentang “sakitku” ini. Aku ingin mereka bahagia melihat cerianya topeng tingkahku.

v   

Malam ini aku kembali terjaga pada pukul 03.00 WIB. Dalam posisi akhir di atas sajadah ini lagi, aku kembali teringat percakapanku dengan ibu tadi sore.
“Liburan nanti maunya kita pergi kemana, Sayang?” ibu menyapaku saat itu yang sedang asyik menelesaikan tugas di kamar.
“Oh, ya, Bu. Ibu ini terlalu cepat memikirkan liburan, ah.”
“Masa sih, bukannya bulan depan kalian sudah liburan kan? Jadinya mau kemana nanti? Atau mungkin kamu punya rencana liburan dengan kawan-kawan?”
“Gak, ah, Bu. Untuk Lia liburan itu bukan hal yang penting.”
“Tapi, sudah lama, kan, liburan kamu gak ke mana-mana, di rumah melulu, apa gak ingin refreshing sekali-kali, biar gak suntuk, Sayang. Ibu tau kamu memikirkan biayanya itu kan? Tidak apa-apa koq, untuk dana liburan itu, ibu sudah mempersiapkannya.”
“Sudahlah, Bu, itu bukan prioritas, di rumah juga banyak yang bisa dilakukan. Lia bisa nonton, bantu ibu, dan banyak kegiatan lainnya yang bisa Lia lakukan.” Aku mencoba berkata bijak selaki kali ini. Sepertinya ada sedikit kebohongan di dalamnya. Akh, entahlah, aku bingung.



Ibu telah memikirkan liburanku jauh-jauh hari sebelumnya. Harus sedetail itukah kebahagiaanku diperhatikan? Bahkan di tengah krisis ekonomi yang tengah meliputi keluarga kami saat ini? Ya Tuhan, ternyata wanita itu benar-benar mulia. Dan aku, apa yang telah kupersembahkan untuk wanita yang telah berjuang untuk kebahagiaanku itu sampai saat ini? Entahlah, aku masih memperjuangkannya.
Tanpa tersa lagi-lagi air mataku mengalir kali ini. Aku menagis.

“Rabb....
Apa yang sebenarnya terjadi padaku?
Ujian atau cobaankah ini?
Keluargaku, kawan-kawanku, citaku, cintaku dan semua masalah yang ada di-sekitarku kini terasa semakin membebaniku.
Beban-beban itu semakin berat menimpaku.
Rabb....
Bantulah aku agar tetap bisa mempertahankan senyumku itu
Bantulah aku agar tetap bisa memakai topeng keceriaan itu
Aku tak bermaksud membohongi merekan dengan semua itu
Tapi rasa sayangku tak inginkan mereka tau tentang lirih pahitku
Aku harus tetap tegar di depan semua yang kucintai
Meski saat ini aku begitu lemah di hadapan-Mu
Rabb....
Aku tak punya sandaran yang utama selain pada-Mu
Karen ku tau kau selalu ada untukku
Memandangku....
Memberiku kedamaian saai air mata mulai berbicara padaku
Dalam keadaan lemahku
Dengarkan aku, Rabb,
Aku ingin bercerita kepada-Mu.”



Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar